Feeds:
Pos
Komentar

patah hati

Gambar

Pernah patah hati??

hadeeuuh hari gini nanya tentang patah hati! Tapi serius lho..buat yang penah ngrasain pasti akan punya pemahaman yang berbeda dibanding sama yang belum. Sensasinya pasti beda. Reaksinya juga pasti beda. Kalo lagi nonton film…baca buku…denger cerita…haha.

Pernah patah hati kan?

Patah hati terkadang membuat kita lebih bijaksana. Kita jadi lebih menghargai waktu. Kita mengingat detik-detik yang pernah dilalui bersama. Saat ngobrol bareng..saat cerita ga penting..saat hanya berdua tanpa bicara dan membiarkan detik berlalu sementara hanya gestur saja yang berkomunikasi.

Bukan hanya waktu, patah hati juga mengajarkan kita menghargai orang lain. Apa saja pendapatnya yang kita bantah. Apa saja seleranya yang kita tertawakan karena aneh menurut kita. Bagaimana caranya melucu yang ga lucu. Bagaimana saat dia emosi dan mengungkapkan amarah.

Patah hati mengajarkan banyak hal, mengubah menjadi orang yang sangat perhatian bahkan pada hal yang tadinya kita anggap paling tidak penting sekalipun. Kita mengingat di mana tempat duduk favoritnya..Kita mengingat gelas mana yang biasa dia pakai. Kita ingat cara dia tertawa, caranya mengerutkan kening, caranya mencibir, tersenyum, ngeles, caranya duduk, membuka pintu, memandang lepas dari jendela…dan menatap lekat pada kita.

Lebih jauh dari itu, patah hati mengajarkan kita untuk ikhlas…move on. Tetap tegak melangkah, walau kita tahu saat membuka pintu ruang kerja kita, atau saat memasuki gerbang sekolah/kampus, atau saat melangkah ke tempat di mana kita biasa berjumpa, kita tidak akan pernah lagi melihatnya tersenyum menyambut kita.

Bersyukur. Tuhan masih memberi kesempatan pada kita, bahkan hanya untuk mengingat bahwa kita pernah bersama. Ketika melalui jalan-jalan yang dulu  dilewati bersama, tempat yang dulu  didatangi bersama, pengalaman yang dulu dirasakan bersama. Berharap memiliki kotak ruang untuk bisa mengarsip senyumannya dalam file-file berjilid.

Bersabar. Meyakini bahwa Tuhan selalu memberi yang terbaik.

Ala kulli hal, patah hati mengembalikan kita pada tujuan awal kita.

Buat yang belum pernah patah hati, jangan kuatir…rasanya sama persiss-exactly- kalo kita kehilangan sahabat kita!!

 

 

sahabat

cute monk

sahabat - sumber google

Mengawali pagi ini dengan tersentak bangun pukul 02.00 dinihari. Seperti merasa baru mengirim sms… Hp kusambar dan langsung mengecek ‘Pesan Terkirim’. Nah kan..terulang lagi…aku mengirim sms tanpa sadar sepenuhnya pada pukul 22.30.

Hadeuw..untung sms yang kukirim sesuai dan bukan ke orang yang salah. Fiuhh, lega deh. Kuperingatkan ya, jangan mengirim sms padaku di malam hari saat waktu tidur. Jawaban yang kukirim bisa jadi ‘mengejutkan’ dan ga nyambung. Sama seperti orang mengigau…bedanya aku menulis.

Ya sudahlah. Hari ini bukan ingin membahas sms. Tapi pesan yang terkirim dari sahabatku itu. Setengah 11 malam sms dan menanyakan, “Mb, tau dokter spesialis anak yang buka? Anakku sakit panas banget.”

Okay, jam setengah 11 malam, setengah sadar, dokter spesialis anak, sakit panas bukanlah kombinasi cantik untuk disampaikan pada manusia yang masih ‘mengumpulkan nyawa’.:P

Kujawab sepengetahuanku, dan diakhir kutambahkan, “sementara bantu doa dulu ya..”. Iya, aku tahu, aku bukan sahabat yang baik. Seharusnya aku sigap berdiri. Menelepon ke sana kemari dan bukan melanjutkan merenda mimpi. Tapi itulah yang terjadi. Dan di jam 02.00 dinihari itulah aku baru sadar…’Ya ampunnn ga banget deh!’ Menyesali sikapku karena yang mengirim sms adalah sahabatku sendiri. Saat dia melawan kantuk,  menenangkan diri dan mencari solusi karena anaknya sakit, aku tidur!!

Padahal selama kurang lebih dua pekan ini, aku banyak sekali mendapat hikmah tentang sahabat. Baik dari kajian, tulisan maupun peristiwa yang terjadi di sekitarku.

Dari Umar bin Khattab, ra :

‘Sahabat itu adalah seseorang yang membenarkanmu, bukan yang membenar-benarkanmu.’

Betapa banyak dari kita lebih suka mendengar apa yang ingin kita dengar, bukan apa yang harus kita dengar. Dan di sinilah fungsi sahabat. Ia meluruskan, ia memperingatkan, ia ‘menampar’.

Hanya saja kita lebih suka berteman dengan orang yang membuat kita tertawa, membuat kita bisa melepaskan penat, membuat kita sesaat lupa pada amanah yang harus segera tertunaikan. Lalu apa yang salah? Memang sahabat harus bisa membuat kita nyaman. Memang tak salah, tapi hanya segelintir orang yang membuat nyaman kita, mau juga berada di samping kita saat kita tidak berada di tempat nyaman.

Kita pun lebih suka berbagi dengan sosok-sosok ceria, penuh semangat, menemani kita menggapai kesuksesan, meniti mimpi-mimpi, mendengar ambisi-ambisi dan tidak terlalu pusing dengan pilihan jalan yang kita tempuh dan cacat-cacat pribadi kita. Itupun benar. Selain nyaman, sahabat adalah sosok penebar virus semangat. Tapi masihkah ia bersemangat saat kita tak mampu membuktikan cita-cita kesuksesan yang tadi tersemat bersama. Masihkah ia rela membersamai saat kita berubah pikiran karena kedewasaan menuntun kita mengambil jalan yang berseberangan. Dan tegarkah ia menegur saat kita perlahan keluar jalur atau melintas batas kebenaran?? Sampai hatikah ia mengungkap bahwa kita telah menorehkan kesalahan dan harus menebus dengan harga mahal?!

Untukmu yang merasa nyaman dengan sahabat-sahabatmu, bahagia dan tertawa bersama mereka, berbagi semangat dan menggurat cita-cita; mari merenung. Dan mari menghitung. Tidakkah kita sudah menemukan sahabat sejati? Apakah kita sahabat yang baik? Atau sahabat saat baik-baik??

Mengapa mereka yang berada di sisi rasulullah semasa hidup disebut sahabat, karena mereka ‘menemani’ rasulullah sepanjang hidup beliau. Dengan seluruh dimensi kosakata ‘menemani’. Saat suka beliau, saat duka beliau, saat hijrah, saat perang, saat haji. Membela, melindungi, bersaksi. Saling nasehat menasehati dalam menegakkan kebenaran dan menetapi kesabaran.  Ada kalanya mengutamakan saudara saat lapar melilit dan dahaga mencekik, bahkan mempersembahkan mahar bagi wanita yang sejatinya menjadi idaman hati.

Ah, betapa jauhnya kita (maaf, aku) dari mereka.  Karena lebih menyukai orang-orang yang sepemahaman denganku. Yang bisa tertawa bersamaku dan tak menghujatku. Tak perlu bersitegang dan bersiteguh denganku untuk sebuah nilai. Dan yang tak perlu repot-repot kuawasi kemana saja melangkah dan apa saja yang dijamah. Dan tak payah berbagi bahu untuk melepas lelah dan amarah. Tak sudi ‘menampar’ dan lebih rela ‘membiar’ dan menelantar.Tak perlu menjadi telaga saat air mata berderai menganak sungai.

Padahal hakikatnya airmata adalah ungkapan terdalam untuk suka dan untuk duka. Maka menjadilah ia ukuran ketulusan kita. Saat kita bisa meneteskan air mata untuk seseorang tanpa syarat, saat itulah Tuhan bicara…bahwa hati kita memberikan tempatnya..Ia bicara dengan bahasa ‘ketulusan’.

Saat kita tulus meluangkan sebuah tempat di hati kita untuk seseorang, maka sebisa mungkin kita menginginkan ia tetaplah seperti awal kita memasukkannya dalam hati. Menjaganya dari keburukan dan mengawalnya di jalan kebenaran. Jikalau ia tak lagi nyaman dengan ‘cara’ kita, maka lepaskan dan relakan ia tumbuh. Suatu saat ia akan kembali, dan menyadari ketulusan yang pernah terulurkan.

“Dalam dekapan ukhuwah,

kepedulian yang terlembut bukanlah sekadar rasa ingin tahu.

Kepedulian yang terlembut kadang tampil dalam bentuk kesadaran

bahwa mungkin kita belum perlu tahu sampai tibanya suatu waktu.

Maka kesabaran akan menuntun kita untuk tahu,

di saat yang paling tepat, dengan cara yang paling indah.”

-Salim A Fillah-

Baiklah..cukup untuk renungan pagi ini. terima kasih sudah menyimak.

Bergegas meraih Hp dan berharap bisa memperbaiki keadaan..:D

pilihan

maka hidup adalah pilihan.mungkin satu saat kau harus terbang jauh seiring dengan membesarnya jiwa dan pemikiranmu.tak ada yg salah..karena detik terus berdetak dan meminta kau untuk terus tumbuh.

tiba-tiba terhenyak membaca status di atas. Berasa kesindir. 🙂

Kemudian bertanya lagi pada diri, tentang niat, tentang mimpi, tentang cita-cita, visi ke depan. Jangan-jangan semua hanya emosi sesaat. Atau aku hanya pandai di ranah bicara dan kata tapi tidak dalam kerja dan tindak nyata.

Berat sungguh..tapi bukankah ujian adalah pada saat lelah menyapa, saat penat menggayut, saat bosan meraja. Membiarkan diri jadi orang yang pertama kali hengkang saat jalan baru terbentang di depan mata?

Kemudian bertanya; jika setiap kita menyerah pada keadaan dan terbang untuk membesarkan diri. Maka siapa yang akan menggarap ladang ini.

Ah, aku memang masih belajar…

Alhamdulillahirobbil’alamiin

Sampai juga di titik ini. Tak pernah menyangka bisa sejauh ini. Walau kerja belumlah selesai. Ada senyum lega dan gurat bahagia di perjalanan pulang, karena Allah selalu memberi yang terbaik.

Kemarin, saat berangkat hanya bermodalkan niat baik, tanpa beban. Serahkan saja pada Allah. Tak perlu bersangka-sangka.

Dan lagi-lagi, Allah tak pernah mengecewakan hambaNya.

Bagai rinai yang menganak sungai…

saat seorang kakak sekali lagi mengingatkan, siapakah aku? dan hendak kemana?

Ah..aku hanya sedang bertanya, sudahkah berada di jalan yang benar…

Semoga kami semua senantiasa mengingatnya..sudahkah kami di jalan yang benar..

Tuntun kami Ya  Robb…luruskan niat kami, satukan hati-hati kami agar kelak kami beroleh kesempatan mendapat naunganMu di hari tiada naungan selain dariMu..

 

Sakit #1

Dear Allah,

apa rekapan dosaku sudah sampai ke tanganMu? aku malu

tak bisa berpaling dan tak bisa mengelak.

Atid takkan menambah dan takkan mengurang…

Kalau sekarang aku merajuk di pintuMu,

bukan untuk pledoi apalagi menyampaikan alibi.

Aku hanya sakit..

Sakit yang teramat sangat dan tak terdefinisi.

Dan Kau lebih tahu…

Jika dahi di atas sajadah tak lagi melahirkan ketundukkan

Jika bulir bulir tasbih tak menghadirkan ketenangan

Dan jika air mata munajat hanya berhenti di lisan

Kau lebih tahu…

Apa yang terjadi, my Rabb?

Mengerakkah dosa dalam diriku?

Hitam kelamkah hatiku?

Munafikkah gelar kehormatanku?

Sungguh Kau lebih tahu…

Maka sampaikan padaku..

Sebelum kau tegur aku dengan murkaMu, bisikkanlah dengan kelembutanMu.

Atau kenaifanku membuatku tak lagi bisa membedakan murka dan rahiimMu??

oh Lord.. totally foolishness

relief my pain..

Semoga sakit ini menyampaikan aku padaMu,

Kejahilan menghadirkan berhala dalam hatiku..

Gantikan dengan ketaatan dan ketetapan atas agamaMu

Baca judul di atas jadi keinget tema pelm india favorit seorg tmn. Dia tuh mirip bgt ma briptu norman yg lg trend di youtube. Nyanyi pelm India pluz kadang nambah joged. Hahaa

Eh, aku bkn mau crita itu. Ini crta jadul bgt, ga pernah aku sharing ke org laen lho..cuman ke kalian aja, my prenz. Msh kisah nostalgia jaman ‘ga enak’ pas aku umur 4 taunan (yg bkin inget krn ak blm TK, msk TK ntu umur 5 thn). Naa..kejadiannya sore hari prenz. Jam 5an kali yah. Coz my mom tu ngantor dari jam 8 pagi mpe jam 5 sore. But hari itu kayanya beliau pulang rada pagian (jam 4 sore kamsudnye).

Hari itu aku ulang tahun. N ak ga ngerti apaan tuh ulang tahun. Cuman dari siang pembantu (aku manggilnya iyuk) ngomongin ituu terus. Katanya aku ulang tahun, trus aku mau dikasih hadiah. Klo hadiah aku ngerti. hihii. N sesiangan itu si iyuk ni ribet nyiapin aku, tdur siang lah, mandi sorelah de el el.

Nah, pas jam 5 itu, my mom n my dad siap di depan pintu n langsung ngajak aku jalan2 naek motor. Asiiik..aku paling suka naik motor d depan. Muter-muter bermandikan vista kota Jogja jaman doeloe. Motor ayah tu Honda bebek merah taun 70 yg kecptanya maks 70 km/jam. Jaman dulu keren bgt tuh.

Sore itu kita lwt dpn pertokoan jln solo (tau kan? urip sumaharjo? kaga ngerti juga? kmana aja sih!!). Trus brenti di depan mirota (klo ga salah skrg mau dibangun hotel tu loh, kira2 di seberangnya G*rd*na). Karna jaman itu blm ada mall, masuk mirota tu dah ok punya. Seingetku toko yng gede tu cuman mirota n toko buku Gr*med*a). Di Jakarta aja paling bru ada Sarinah.

Eh, kerennya lagi masuk di restorannya. Trus ayah n my mom mempersilakan diriku utk memesan makanan. Aku tekun & cermat memeriksa daftar menu (maklum lagi belajar baca, hehe). Dan karena menu yang paling pendek dan paling mudah dibaca adalah ‘bistik’, maka aku mantap mengucap bistik (jaman dulu orang kaga nulis beef steak, guys. trust me!). Trus aku tanya ke mom,”Ibu, bistik apa?”. My mom, “bistik itu daging dkasi sayur sama kuah. Nesa mau?” Kayanya enah tuh, dan mengangguklah diriku. Sempat kulihat ayah dan ibuku berpandangan, but that’s okay. My dad smile to me. So aku duduk manis menunggu. Rasanya lamaaa bgt n emg lama si, pan kudu dipanggang dolo.

Pesenan blm jg datang setelah seabad, dan si mas pelayan nanya, minumnya apa? “Nesa mau minum apa?” Again my mom asked me. Karena aku bingung n diem aja, ayah tanya “Ada apa aja, mas?” trus si mas panjang lebar nerangin. But karena kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah ‘eskrim’ so dgn mantap aku menyebutkan ‘eskrim’. Lagi-lagi ayahku tersenyum. Bahkan ayah bertanya ke ibu, “Ibu mau makan apa?” My mom was smiling, “Engga..ga pingin makan. Ayah aja.” then my Dad said “Ayah juga engga, anaknya aja deh.”

And so on…hari itu berlalu dan meninggalkan kesan tersendiri buatku. Entah kenapa, aku ngerasa special bgt..apalagi pulangnya sempet mampir supermarket buat beli barang yang aku suka (dah lupa, permen, apa maenan yak??).

Bertahun kemudian, kenangan itu tetap tumbuh di hatiku, tak sejumput pun lepas dari ingatan. How nice that day was…. Sampai pada suatu hari aku tersentak! I mean really..!!

Sebenarnya apa yang dilakukan my mom and my dad were? (along the time I ate) Aku mengais-ngais ingatan…Apa ya? Trus ngapain ya?

And you know my Prenz….saat itulah aku sadar kalo mereka hanya melihatku, memperhatikanku makan dengan seksama dan tersenyum. Bagai baru melihat bayi mereka yang belajar makan…(karena emang waktu itu ‘tools’nya piso n garpu.

Mereka tidak makan, hanya memperhatikanku… Lama, sangat lama memakan waktu hingga jelang aku lulus kuliah..saat aku baru sadar..

Bahwa harga seporsi ‘bistik’ yang Rp 3.000,00 itu terlalu mahal untuk gaji ayahku sebagai asisten dosen yang cuma bergaji Rp 8.000,00 (sebagai pembanding, harga semangkok bakso dorongan waktu itu cuman 200 – 300 perak! harga emas sekitar 18.000-20.000 segram klo ga salah ye).  Apalagi masih ditambah semangkok eskrim…(well..kembali gerimis saat menulis ini).

Kau tahu kawan, satu-satunya yang masuk ke perut mereka saat itu seingatku adalah..AIR PUTIH dari gelas yang sama. Karena aku memesan es krim, maka air putih adalah bonus. (Kalo kalian makan di restoran agak ‘mahal’, biasanya bakal dapet segelas air putih setiap pemesanan es krim, buat netralisir lidah-mirota waktu itu ‘mahal’).

See!! dorhaka bgt ya gw???

Dan butuh belasan tahun buatku untuk menyadari How gorgeous they are!!!

So my prenz, kalo saat ini dirimu lagi ngerasa kesel, mangkel, dongkol sama ortu, coba pikir lagi.. Mereka tidak mungkin melakukan sesuatu yang menurut mereka buruk buatmu. Trust me! Sekuat tenaga mereka akan menghadirkan apa yang mereka mampu…walaupun itu mengorbankan banyak hal untuk diri mereka sendiri…Someday u’ll know… dan aku berharap, kalian ga ‘lemot’ n ‘ddr’ kaya aku 😉

* miz u much mom n ebs…semoga terkabul doa-doa kalian selama di sana… dan semoga proposal ‘yang ini’ ga salah.🙂

aku percaya

Kau tahu kawan, apa yang paling dibuthkan dalam dakwah??

komitmen? tekad? kader? atau dakwah itu sendiri?

Buat aku dakwah itu menghendaki ukhuwah. Dan ia hanya bisa terwujud ketika mereka yang ada di dalamnya mau bekerja sama dan bukan bekerja bersama. Betapa banyak dari kita latah mengatakannya.

Dua tahun lalu seorang sahabat mengirim sms: Mb, gimana klo ak resign? Sempat tertegun, (hanya sekejap karena aku tahu pasti apa yang membuatnya menuliskan sms itu) aku membalas: ‘ Aku akan jadi orang petama yang menyesalkannya.’ Sms berikutnya menyusul,’Kenapa mba? Bukannya aku udah ga dibutuhkan lagi? Aku udah ga dipercaya??’

Ahaa!! Aku menemukan kata kunci di sana. Mungkin kalimatnya ga persis seperti itu..tapi aku ingat betul bagaimana percakapan kami di telepon berikutnya. Aku tahu betul kapasitas ‘dakwah’ sahabatku ini (kayanya sih ya). Dan ia tengah berada di titik nadhir kepercayaan kepada dirinya sendiri (mungkin..inikan cuman analisaku).

Yang jelas setelah percakapan itu, aku justru memberi amanah dan memberi kesempatan padanya untuk menghapus ‘dosa bertingkat’.hehe.. Nyatanya, semua tidak berjalan sesuai keinginanku. Pekan pertama setelah amanah berada di tangannya, ia melepaskannya. Tidak dengan sengaja, tapi tetap saja, harus ada pertanggungjawaban. Pun dariku yang telah mendelegasikan amanah itu. Huff… Aku masih berbaik sangka (selalu nding), dan berharap ia pasti akan bangkit setelah ini. Itikadnya sudah terlihat, hanya ia selalu terbentur pada manajemen waktu dan prioritas pekerjaan.

Pekan berganti, bulan berlalu dan bahkan tahun pun berbilang. Ketika kemudian ia berdiri di sana..kenapa aku tak heran. ia layak, ia hanya tak paham pada kelayakannya. Mungkin baginya semua itu sekedar permainan konyol tak berarti, sekedar lucu-lucuan untuk menyemarakkan. Tapi aku yakin, ketika namamu tersebut untuk penghargaan lucu-lucuan itu, kau pun sempat berpikir. Entah apa yang melintas dalam pikiranmu. Bahkan bisa jadi kau pun telah lupa pada sms itu. Tak masalah, bukan disitu esensinya. Aku hanya berpikir, jika saat itu aku tak menahanmu, bisa jadi bukan dirimu yang ada di sana. Terima kasih sahabat, telah memberiku kesempatan untuk berbagi dan mengatakan hal yang tepat (semoga) saat itu, dan terima kasih telah memberi kesempatan pada dirimu sendiri untuk bangkit. Ini tentang kepercayaan.

Dan, lagi-lagi, jalan ini mengenalkanku pada orang-orang luar biasa. Yang bekerja tidak dengan fisik mereka tetapi dengan darah juang mereka. Saat semua niat diuji, saat kesabaran adalah batas tipis dengan ketidakpedulian, saat kemarahan lebih mirip pengalihan ketidakmampuan, dan segala uzur digunakan mengelak dari pertanggungjawaban.

Aku bahagia, sesungguhnya aku adalah orang yang paling ingin meneriakkan kemenanganku. Allahu Akbar!!!! Aku percaya pada kalian. Aku tak peduli pada hujat miring dan lemparan2 tanggung jawab dari mereka yang bernafas dengan udara berbeda dari kita. Maka ketika peluh hampir kering dan hembusan kelegaan terdengar, aku begitu bersyukur. Aku tak lagi merasakan keletihan. Aku bahkan heran pada diriku sendiri. Ke mana menguapnya semua rasa sesak itu. Ia terbang bersama senyum kebersamaan dan peluh letih itu sendiri. Allah telah mengganti. Terima kasih untuk kalian. Sungguh aku percaya, kita bisa bahkan hingga berpuluh tahun lagi..Jika Allah mengizinkan..

cerita tentang ayah

Sobat, kau tahu? Ada banyak cerita yang tak pernah kuungkap dari masa laluku. Tak masalah, karena toh tak banyak juga yang punya cukup waktu untuk mendengar dan memperhatikan. Lain sisi, aku lebih suka menyimpan cerita itu sebagai kenangan pribadi yang mutlak milikku seorang.

Tapi kali ini aku ingin berbagi sebuah cerita, ceritanya si..gara-gara kesetrum abis baca edisi khusus Tarbawi yang paling baru.

Sebagian dari kalian mungkin tahu, aku sulung dari 3 bersaudara. Ayahku seorang pengajar di sebuah universitas swasta di Jogja. Kehidupan keluarga kami rata-rata orang Jogja lah. Masa sederhana adalah tanggal tua kumpul di rumah, makan pisang goreng bareng atau bikin pempek coz my pa luvs it. Kemewahan berarti makan bareng keluarga di luar, cari tempat lesehan keluarga yang cozy buat ketawa ketiwi ga jelas. Kami menikmati ‘kesantaian’ keluarga kami (mebi buat sebagian keluarga lain jadi nyleneh), terakhir yang aku ingat adalah ayah menjual mobil kami 3 tahun yang lalu karena lebih suka ke kampus naek motor!!

Jangan salah, semua yang didapat ayah ibuku ga ajaib seperti sekarang lho.. Dulu (once upon a time..hehe), mereka pasangan yang sangat zuhud (kata lain dari ngirit hee). Dan hanya mereka yang tau tentang ini.Kami, anak-anaknya mana ngerti gimana ibuku menyulap rizqi Allah bisa jadi cukup buat sebulan.

Awal menikah, mereka tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah) di bilangan Kota Jogja. Ayah waktu itu masih kuliah lho. Iya, Ayahku nikah pas masih kuliah. Ibuku udah kerja siiy di sebuah dealer mobil di jalan Solo. Jadi kesimpulannya, aku gede di rumah enin & aki (nenek & kakek – sunda). Trus setiap harinya aku lbh sering bareng ayah (di tahun2 akhir kuliahnya). That’s why my brotha n sista..aku ga terlalu dekat sama ibu, lebih deket ke ayah.

One day, pas aku umur sekitar 3 tahun (serius, aku inget bgt), aku rewel. Yang aku inget waktu itu, aku muntah-muntah n ga doyan makan plus sakit perut (kesimpulannya diare, guys). Bada dhuhur (mebi jam 2an, tapi yang jelas blom ashar, coz aki eninku blm bangun tidur siang buat sholat ashar) ayahku pulang dari kampus. Aku ga bisa membaca ekspresi wajahnya, tapi wajahnya terekam jelas. Ayah mengambil aku dari gendongan pembantu. Mengganti seluruh bajuku dan ga lupa ngegosokin minyak angin cap k*p*k (jaman dulu blm ada minyak aroma terapi, balsem juga cuman rhe*mas*n) yang puanaaas banget. Aku masih terus nangis sambil meracau ga jelas (kayanya pembantuku tadi sempet njelasin kondisiku ke ayah n beliau cuman ngangguk doang). Ayah mendudukkan aku di meja makan dan mulai nyuapin pake orak arik telor (apa telor ceplok ya?). Makanan mewah buat keluarga besar kami waktu itu. Walaupun aki ku pegawai sebuah BUMN dan punya pembantu di jaman itu, tapi aki menanggung 7 orang anak. Dan selain keluarga ayahku, ada keluarga bude yang juga tinggal di rumah itu.

Aku menolak habis-habisan makanan yang disuapkan ayah, tapi ayah terus mengulang dan memaksa kalo aku mengeluarkan kembali kunyahanku. “Harus makan!!” perintahnya waktu itu. Dan susah payah aku menelan berteman linangan air mata. Selesai menghabiskan sepiring nasi, ayah menggendong dan memelukku di tempat tidur.

You know guys, aku bahkan tidak ingat bagaimana kesudahan hari itu. Apakah aku jadi benar-benar tertidur..atau aku sembuh keesokan harinya. Tapi momen yang kuceritakan di atas begitu tertancap jelas dalam ingatanku. Aku bahkan ingat warna kemeja yang ayahku pakai, bajuku yang orens bergaris hijau, orak-arik telor, potongan rambutku waktu itu, tangisku dan dekapan ayahku. Subhanallah, yang sudah membingkai potongan kenangan itu untukku.

Mungkin ada yang tidak terlalu beruntung merasa punya bapak yang ‘aneh’ menurut kalian. Tapi cobalah lihat sisi lain seorang ayah. Mereka ingin kita berdiri sendiri, dan me’recovery’ diri sendiri. Bukan mereka tidak melihat air mata kita, bukan tak tau kita sakit. Tapi ia percaya kita bisa sembuh, kita bisa bangkit dari seburuk apapun kondisi kita. Walau mungkin, ia tidak mengatakannya, sahabat…

Kau tahu sahabat, lebih enak meminta gelindingan bakso terakhir milik ayah daripada punya ibu. Lebih enak meminum susu kopi ayah yang tinggal separuh gelas. Lebih enak ‘ndlusup’ di samping ayah saat nonton tivi. Dan kalau tanggal mendekati akhir bulan dan uang tinggal 10ribu, siapa yang kudatangi ?? Ayah!! Setrika rusak, genteng bocor, keran lepas?? Ayah!! TV konslet, kulkas mati?? Ya tukang reparasilah!! Ayahku ga sekeren itu..heuheu

Anyway, i just wanna say, i love my Dad much. Kadang berpikir, bagaimana kalau aku tidak bisa menemukan pendamping sebaik ayah untuk menjadi waliku berikutnya?? Tidak bermaksud membandingkan, hanya aku terus membayangkan. Apakah ‘ia’ rela membawa belanjaan sepanjang koridor pasar dan ikut menawar ikan tengiri? Apa ia bersedia membuat nasi goreng jam 10 malem karena anak-anaknya belajar nyiapin ujian? Mencuci piring saat istri pengajian, mengepel saat rumah banjir, menguleni adonan, membakar sate, menguleg sambel???? Coz my Dad did it!!

Allah…terima kasih fou Your kindness. Hamba kadang lupa bersyukur untuk nikmat-nikmat ‘kecil’ yang Kau hadirkan dalam hidup hamba. Padahal hakikatnya bisa jadi dari yang ‘kecil-kecil’ itulah sumber kebahagiaan hamba, dan sumber pembentukan fikrah dan akhlaq seorang nesia.

Duhai kekasih, di manapun kau berada saat ini, apa pun yang tengah kau lakukan, semoga kebaikanlah adanya bagimu dan bagiku kelak. Semoga Allah jadikan kebaikan dan kebarokahan pada penyatuan kita nantinya. Siapapun namamu, apapun yang ada padamu dan bagaimanapun jadinya dirimu.

Allah, terima kasih….

*Umar Bahauddin Al Amiri

 

di mana kegaduhan merdu

di mana kebisingan syahdu

di mana belajar yang selalu diselingi senda gurau

di mana masa kanak-kanak yang membara

di mana boneka dan buku-buku yang berserakan di atas lantai

dimana rengekan yang tak bermaksud

dimana pengaduan yang tak bersebab

dimana tangis dan tawa

dimana duka dan ceria

yang bersatu dalam satu masa

dimana perebutan untuk duduk di sampingku

ketika mereka akan makan dan minum

mereka saling berdesakan untuk duduk di sisiku

dan dekat denganku di mana saja mereka bergerak

dengan dorongan fitrah mereka menuju kepadaku

pada saat mereka takut dan senang

ketika mereka riang

senandung mereka adalah “Ayah”

ketika mereka marah

ancaman mereka adalah “Ayah”

ketika mereka jauh

bisikan mereka adalah “Ayah”

ketika mereka dekat

ratapan mereka adalah “Ayah”

kemarin mereka memenuhi rumah kita

sayang, sekarang mereka telah pergi

seakan-akan kesunyian itu menimpakan bebannya yang berat ke dalam rumah ini

ketika mereka pergi

sunyinya rumah ibarat tenangnya orang sakit

seisi rumah diselimuti kesedihan dan kelelahan

mereka telah pergi

ya, mereka telah pergi

namun, tempat tinggal mereka adalah hatiku

mereka tidak jauh, meskipun tidak pula mereka dekat

ke mana saja jiwaku berpaling

ku selalu melihat mereka

kadang mereka diam

kadang mereka lompat

di dalam benakku

di dalam rumah yang tak pernah mengenal lelah ini

masih kurasakan senda gurau mereka

masih kulihat pancaran sinar mata mereka

ketika mereka berhasil

masih kulihat linangan air mata mereka

ketika mereka gagal

di setiap sudut rumah

mereka tinggalkan suatu kesan

di setiap pojok rumah

mereka tinggalkan kegaduhan

aku melihat mereka

pada kaca-kaca jendela yang mereka pecahkan

pada dinding-dinding yang mereka lubangi

pada pegangan pintu yang mereka patahkan

pada daun pintu yang mereka gambari

pada piring-piring yang ada sisa-sisa makanan mereka

pada bungkus permen yang mereka lemparkan

pada belahan apel yang mereka sisakan

pada lebihan air yang mereka tumpahkan

ke mana saja mataku memandang

ku selalu melihat mereka

bagaikan sekumpulan burung dara yang terbang melayang

kemarin mereka singgah di Qornail

sekarang mereka di dekap Halab

air matalah yang aku tahan dengan tabah

ketika mereka bertangisan pada saat mereka pergi

hingga ketika mereka bertolak

mereka telah merenggut jantung dari rongga dadaku

kudapatkan diriku bagaikan seorang bocah

yang penuh dengan perasaan

air mataku jatuh tertumpah bagaikan air bah

kaum wanita akan merasa heran

bila melihat seorang lelaki menangis

lebih heran lagi jika aku tidak menangis

tak selamanya tangisan itu kelemahan

aku, dan di dalam diri ini ada keteguhan lelaki, adalah seorang ayah

 

*mata menggembung dan hati gerimis…fUr my luvly, luvly, luvly ‘Beh’

sahabat

Sahabat,

mengapa senyummu jauh hari ini?

Apakah lisanku tak terjaga?

Apakah pandangku menyakitimu?

Atau ku tak peka pada rasamu?

Atau ku tak sigap menyeka peluh dan air matamu?

Atau terlalu banyak dosa yang kuperbuat hingga menghijab hati kita?

 

‘dan jadilah kalian hamba-hamba yang bersaudara….’

berat cuuy.. 😦